Mengenang masa SMA dulu, saat-saat akan melaksanakan ujian
nasional. beberapa bulan sebelum pelaksanaan kesibukan mempersiapkannya bukan
main, dari mulai penjaga sekolah sampai kepala sekolah sibuk mempersiapkan
sekolah agar sekolah sukses melaksanakan UN. Lulus 100% menjadi salah satu
indikator bagi sekolah untuk bisa dikatakan sukses dalam melaksanakan UN. Maka
dari itu berbagai macam cara ya bisa dilakukan untuk meluluskan siswa nya. Mau
cara baik atau pun buruk yang penting lulus. Lalu kemanakah nilai kejujuran?
Kejujuran pun dihilangkan, demi kelulusan 100%. contohnya fenomena yang terjadi
di salah satu SD di Surabaya bisa di baca di (http://www.tribunnews.com/2011/06/11/sebelum-un-sd-gadel-surabaya-bikin-simulasi-).
Kalau siswa nya jangan ditanya lagi, pada saat-saat itu
galau nya bukan main. Karena UN ini dampaknya bisa sistemik bagi siswa. Jika
tidak lulus UN satu sekolah bahkan satu kota/kabupaten bisa tau kalau kita
tidak lulus, kalau sudah begitu kita jadi malu, keluarga kita jadi malu, hal
itu menjadi tekanan yang luar biasa bagi siswa sehingga siswa menjadi seperti
hilang harga diri bahkan ada diantaranya karena gagal UN dampaknya sampai bunuh
diri.
Hari-hari pelaksanaannya pun penuh dengan ketegangan,
bagaimana tidak baru pertama kali merasakan, bagaimana pada saat hanya mengerjakan soal ujian polisi sampai ikut turun tangan
untuk mengawasi. Jadi tak perlu jadi narapidana jadi siswa pun bisa merasakan
diawasi polisi. Sebenarnya apa yang kita cari dari sekolah selama ini, hanya nilai
ujian kah? Atau apa? Terus terang sampai saat ini masih banyak pertanyaan di
benak saya tentang UN ini. Bahkan seorang penulis dan juga guru yang bernama
Poiel Sengupta menulis puisi tentang nilai ujian, berikut sebagian bait dari
puisinya yang berjudul Nilai Tes Sudah
Keluar.
Nilaimu bisa jadi
ketenaranmu
Nilaimu bisa menjungkalkanmu
Nilaimu bisa menodaimu
Bisa juga melambungkan namamu
Tapi
masih jadi pertanyaanku
Siapa
yang merancang mimpiku?
Siapa
yang mengaturku?
Dan
nilai tes yang lantang ini bagaikan guntur
Apakah
bisa juga membuat kita terpuruk.
Sebenarnya
saya bukan tidak setuju dengan evaluasi pembelajaran. Karena saya tidak pernah
protes dengan pelaksanaan ujian semester, atau ulangan harian, bahkan kedua hal
itu adalah hal yang biasa. Lalu mengapa ujian nasioanal terlihat begitu
menakutkan? Padalah itu hanya salah satu bentuk dari evaluasi pembelajaran di
Indonesia bukan satu-satunya.
Ketika saya mencari tentang
fenomena ujian nasional di dunia saya tertarik dengan konsep Finlandia, suatu
negara yang saat ini berkembang dalam bidang sains, dan tekhnologi. Ternyata
salah salah satu faktor yang mempengaruhi kemajuan pendidikan di negara itu
adalah: 1. Berdasar pada kemampuan guru-guru yang mengajar di sekolah, karena
guru-guru tersebut berasal dari lulusan – lulusan universitas-universitas
paling top dinegaranya. 2. Ujian nasional hanya diadakan untuk level SMA, ini
dimaksudkan agar siswa yang melanjutkan ke perguruan tinggi memang benar-benar
sudah siap. Untuk Ujiannya sendiri Pemerintah Finlandia memberi kebebasan
kepada siswa untuk memilih tiga mata pelajaran yang mereka sukai, dan satu
pelajaran wajib yaitu bahasa Finlandia.
Sangat kontras perbedaannya
dengan Indonesia saat ini, bukan bermaksud membandingkan dengan asing, akan
tetapi pendidikan di Indonesia memang harus diperbaiki, salah satunya bisa
lewat standar kelulusan siswa. Baiknya UN itu dihapusakan saja, dan kalau pun
ada mata pelajaran yang di UNkan itu bersifat pilihan, sesuai dengan apa yang
siswa sukai. Mengapa? Agar siswa tumbuh dengan kemampuan yang mereka punya,
tidak dipaksakan dengan pelajaran-pelajaran yang di UN kan. Bukankah dengan UN
malah akan membuat kita lemah dalam karakter bangsanya karena menghilangkan
nilai-nilai kejujuran. Bukankah dengan adanya UN akan membuat siswa resah dan
prustasi apalagi bagi yang tidak lulusnya. Bukankah dengan adanya UN hanya akan
menghabiskan anggaran negara karena saat UN 2011 saja menghabiskan dana sebesar
Rp580 miliar.
hhmm.. ujian nasional memang bikin GALAU
BalasHapus